Author : Tubagus Phandu Mursabdo
Lagu Tres Apuntes karya Leo Brouwer merepresentasikan budaya tiga negara yaitu Spanyol, Rusia dan Bulgaria. Multikulturalisme pada karya tersebut ditunjukkan melalui ketiga bagian lagu Tres Apuntes. Leo Brouwer mampu menyampaikan pesan bahwa musik merupakan bahasa yang universal dan multikulturalisme dapat disimbolkan melalui sebuah karya musik. Karya Leo Brouwer menggunakan elemen-elemen musik rakyat Afro-Cuban dan hal tersebut menunjukkan kesetiaannya pada warisan nasionalnya. Fitur komposisi khas dari tradisi seni musik yang digunakan Leo Brouwer dapat diidentifikasi melalui karya-karyanya. Penggunaannya atas lagu rakyat menggambarkan contoh-contoh integrasi musik rakyat yang sangat berkembang dan diasimilasikan dengan bentuk musik seni barat menjadi sebuah karya seni tinggi (high art). Selain kesadarannya akan ideologi penciptaan karya Bela Bartók terhadap sistem harmoni modern, Brouwer juga mendapat inspirasi dari pekerjaan unik Hungaria berupa aksen ritmis yang unik dan bentuk musik bebas. Musik dapat dianalisis dengan teori kajian budaya (cultural studies) dan teori kritis (critical theory). Kita dapat mengetahui fungsi musik bukan sebagai penghibur kehidupan, tetapi musik juga dapat berfungsi sebagai ilmu pengetahuan dan memiliki peranan aktif dalam perkembangan budaya. DAFTAR ACUAN BUKU Ida, R. (2014). METODE PENELITIAN STUDI MEDIA DAN KAJIAN BUDAYA: PRENADA MEDIA GROUP. Kronenberg, C. (2000). Cuban Artist, Leo Brouwer, And His Solo Guitar Works: Pieza Sin Titulo To Elogio De La Danza. A Contextual-Analytical Study. (Master Of Music Analysist), University Of Cape Town. Kronenberg, C. (2008). Guitar Composer Leo Brouwer: The Concept of a 'Universal Language'. Tempo, 62(245), 30-46. Lechte, J. (2001). 50 filsuf kontemporer: dari strukturalisme sampai postmodernitas: Penerbit Kanisus. O'Leary, A. (2003). Exploring The Patterns, Figures And Flowing Ideas Of Leo Brouwer. (Bachelor Of Music Music Analysis), Dublin Institute Of Technology Conservatory Of Music And Drama. Stein, L. (1979). Structure and Style : The Study and Analysis of Musical Forms (Expanded ed.). America: Summy-Birchard ARTIKEL JURNAL Century, P. (1987). Leo Brouwer: A Portrait of the Artist in Socialist Cuba. Latin American Music Review / Revista de Música Latinoamericana, 8(2), 151-171. doi: 10.2307/780096 Kronenberg, C. (2008). Guitar Composer Leo Brouwer: The Concept of a 'Universal Language'. Tempo, 62(245), 30-46.
0 Comments
Author : Tubagus Phandu Mursabdo Photo : Harry Saya akan memberikan beberapa pendekatan teori dari beberapa tokoh pemikir budaya pop dalam memberi pemahaman lebih lanjut tentang budaya pop. Istilah yang akan dibahas adalah istilah “budaya” dan “popular”. Setelah istilah “budaya” dan “popular” didefinisikan dengan beberapa pendekatan, kedua istilah tersebut digabungkan untuk mendapatkan sebuah pemahaman tentang makna (definisi) budaya pop.
Raymond Williams (2003: 76) mendefinisikan budaya dalam tiga kategori umum. Kategori pertama adalah “kategori ideal”, budaya merupakan suatu keadaan atau proses perfeksi (proses penyempurnaan diri) manusia yang berkaitan dengan nilai mutlak atau nilai universal tertentu. Kategori kedua adalah budaya sebagai “catatan dokumenter”, catatan teks dan praktek budaya. Pada kategori kedua, budaya merupakan suatu kerangka intelektual dan imajinatif, dimana dengan cara yang rinci, pengalaman serta pemikiran manusia dicatat. Kategori ketiga adalah definisi “sosial” tentang budaya, budaya merupakan suatu gambaran dari pandangan hidup tertentu. Definisi “sosial” tentang budaya memperkenalkan tiga cara pemikiran baru tentang budaya. Pertama, pernyataan “antropologis” bahwa budaya merupakan deskripsi pandangan hidup tertentu; kedua, pernyataan bahwa kinerja analisis budaya seharusnya merupakan “klarifikasi dari makna dan nilai” baik secara implisit maupun eksplisit yang inheren dalam pandangan hidup tertentu atau suatu budaya khusus. Ketiga yaitu budaya menuntut dan melibatkan penganalisisan unsur-unsur dalam pandangan hidup dengan menyertakan definisi lain yang sama sekali bukan “budaya”. Williams tidak memiliki kecenderungan lebih terhadap salah satu dari ketiga definisi tentang budaya tersebut. Bagi Williams suatu definisi disebut “tidak memadai” dan “tidak bisa diterima” jika tidak menyinggung definisi lainnya serta mendefinisikan teori budaya sebagai studi yang mengkaji hubungan antara berbagai unsur dalam satu kesatuan pandangan hidup. Wiiliams (2003: 23) dalam buku “Culture and Society” menyatakan bahwa “prinsip-prinsip yang dipaparkan dalam buku ini bermaksud menemukan ide budaya dan kata budaya itu sendiri dalam pemakaian modernnya secara umum, yang merembes ke dalam pemikiran Inggris pada masa revolusi Industri.” Inilah definisi budaya dengan ketergantungan pada keberadaan ekonomi pasar kapitalis. Hal ini mengakibatkan Inggris sebagai negara pertama yang memunculkan budaya pop dalam definisi terbatas dengan dimensi historis. Terdapat hal yang mendasari periodisasi budaya diantaranya adalah pengalaman industrialisasi dan urbanisasi yang secara fundamental telah mengubah hubungan antara budaya adiluhung (high art) dengan lanskap budaya rendah (low art). Sebelum terjadinya era industrialisasi dan urbanisasi, Inggris memiliki dua budaya; budaya umum yang dianut oleh hampir semua kelas dan budaya elit yang dibuat serta dikonsumsi kelas dominan dalam masyarakat. Sebagai akibat industrialisasi dan urbanisasi, ada tiga hal yang terjadi secara bersamaan dan hal tersebut mengakibatkan perubahan peta budaya. Pertama, industrialisasi mengubah hubungan antara pemilik dan buruh dari yang berdasar pada kewajiban timbal balik menjadi berdasar pada tuntutan dari apa yang oleh Thomas Carlyle (2003: 24) sebut sebagai “cash nexus.” Kedua, urbanisasi membuat terjadinya pemisahan tempat tinggal kelas. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pada negara Inggris terdapat suatu wilayah kota yang dihuni buruh laki-laki dan perempuan. Ketiga, kepanikan yang ditimbulkan akibat revolusi Perancis. Kekhawatiran negara Inggris, jika revolusi yang terjadi di Perancis, terjadi juga (diimpor) pada negara Inggris. Hal tersebut mendorong penguasa untuk melakukan tindakan represif untuk menekan radikalisme. Politik radikalisme dan unionisme perdagangan tidak dihancurkan, tetapi didorong dengan diam-diam untuk mengaturnya diluar pengaruh campur tangan kelas menengah. Ketiga faktor ini memposisikan budaya di luar pertimbangan paternalis budaya umum sebelumnya. Setelah mendefinisikan istilah “budaya” dari beberapa pendekatan, selantujnya saya akan mendefinisikan istilah “popular” dari Raymond Williams. Williams (2003: 10) menyatakan bahwa istilah “popular” memiliki empat definisi. Pertama, popular merupakan sesuatu yang banyak disukai orang. Kedua, popular merupakan jenis kerja rendahan. Ketiga, popular merupakan sebuah“karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang”. Keempat, popular merupakan budaya yang memang dilakukan untuk menyenangkan dirinya sendiri. Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu menggabungkan dua istilah , yakni “budaya” dengan “popular” yang keduanya memiliki formulasi definisinya masing-masing. John Storey (2003: 10) dalam bukunya memaparkan enam sketsa definisi budaya pop dengan maksud untuk menerangkan budaya pop secara mendalam. Pertama, budaya pop mencakup dimensi kuantitatif yaitu budaya yang disukai banyak orang. Kedua, budaya pop adalah mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah). Budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain, budaya pop memiliki definisi sebagai budaya “sub-standar.” Ketiga, mendefinisikan budaya pop adalah menerapkannya sebagai “budaya massa”. Mereka yang menyebut budaya pop sebagai budaya massa bertujuan untuk menegaskan bahwa komersialisasi tidak dapat diharapkan. Budaya diproduksi massa dan ditujukan untuk konsumsi massa. Audiensnya adalah sosok-sosok konsumen yang tidak memilih. Keempat, budaya pop adalah budaya yang berasal dari “rakyat”. Budaya pop seperti halnya budaya daerah merupakan budaya dari rakyat untuk rakyat. Definisi pop dalam hal ini seringkali dikaitkan dengan konsep romantisme budaya kelas buruh yang ditafsirkan sebagai sumber utama protes simbolik dalam kapitalisme kontemporer. Pendekatan ini memiliki persoalan yakni pertanyaan tentang siapa yang termasuk dalam kategori “rakyat” dan persoalan lainnya adalah hakikat wacana dari mana asal-usul budaya itu terbentuk. Kelima, definisi budaya pop dari analisis Antonio Gramsci. Antonio Gramsci dikenal melalui konsep hegemoninya. Gramsci menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu pada cara suatu kelompok dominan dalam sebuah masyarakat yang mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok subordinat melalui proses “kepemimpinan” intelektual dan moral. Konsep hegemoni pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan mengapa revolusi sosialis tidak terjadi di negara Barat yang nota bene demokratis dan maju padahal negara tersebut terjadi tekanan serta eksploitasi akibat dari kapitalisme. Hegemoni digunakan dengan mengacu pada sebuah proses kelas dominan, tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual. Bagi pengamat budaya pop, hegemoni merupakan konsep yang bermanfaat. Budaya pop terartikulasikan sebagai suatu lingkup terstruktur dari tukar menukar, keduanya berkelindan dalam rupa perlawanan dan penyatuan (resistensi dan inkorporasi) serta negosiasi antarbudaya (suatu keseimbangan kompromistis) antara unsur inkorporasi dengan resistensi, suatu pergulatan antara usaha untuk meuniversalkan kepentingan dominan dan resistensi subordinat. Keenam, budaya pop berasal dari pemikiran postmodernisme. Persoalan yang dibahas postmodernisme yaitu pernyataan bahwa postmodern merupakan budaya yang tidak mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi (high art) dan pop (low art) atau membuat kedudukan budaya tinggi (high art) dengan budaya pop (low art) menjadi sejajar. Akibatnya postmodernis menyatakan “semua budaya adalah budaya postmodern” dan mereka juga menentang pembatasan budaya pop dengan budaya massa. Dalam pandangan saya, hal tersebut (pemikiran postmodernisme) membuat bias pada kedudukan budaya tinggi (high art) dan budaya pop (low art), sehingga tidak ada perbedaan kedudukan antara budaya tinggi (high art) dan budaya pop (low art). Postmodernis menegaskan bahwa semua budaya adalah budaya komersial. Andi Warhol (2003: 238) menyatakan bahwa “seni riil ditentukan oleh selera (dan kekayaan) kelas penguasa waktu itu. Hal ini berarti seni komersial sebaik seni riil, yang nilainya ditentukan oleh kelompok sosial lain, dengan pola pembelanjaan yang berbeda.” Menurut saya, Warhol ingin memberi pandangan kepada khalayak umum tentang seni komersial sebagai seni riil dan seni riil sebagai seni komersial atau dapat disederhanakan menjadi sebuah penyatuan budaya tinggi (high art) dengan budaya pop (low art). Terlepas dari semua definisi tentang budaya pop, terlihat jelas bahwa budaya pop muncul mengikuti industrialisasi dan urbanisasi. Menurut Ang (2007: 25) budaya pop merupakan produk dari produksi komoditas kapitalis dan karenanya merupakan subjek bagi pasar kapitalis; hasil dari apa yang tampaknya didegrasdasikan, yang satu-satunya signifikannya yang nyata adalah bahwa mereka meraup keuntungan bagi para produsennya. Menurut saya budaya pop adalah sesuatu yang kita bentuk (buat) dari produk dan praktik budaya keseharian. Perkataan budaya pop (atau biasanya, budaya massa) dan budaya tinggi (atau lebih umum, hanya budaya) merupakan sebuah cara untuk menyatakan “mereka” dan “kita”. Perdebatan budaya pop adalah untuk lebih memahami makna tentang budaya kontemporer serta mampu mendapatkan pesan tersirat sebuah fenomena yang sedang terjadi. Daftar Acuan Fiske, John, Reading Television (Second ed.). London. Taylor & Francis, 2004. Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culture (Second ed.). London: Taylor & Francis, 2004. Storey, John, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (L. Rahmawati, Trans. A. Adlin Ed.). Yogyakarta & Bandung: JALASUTRA, 2007. Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies (Shafwan, Trans. D. Nurdin Ed.). Yogyakarta: PENERBIT QALAM, 2003. Author : Tubagus Phandu Mursabdo Budaya tinggi (high art) telah berada pada posisi yang sejajar dengan budaya populer (low art) seperti yang telah dipaparkan oleh Warhol yaitu mengenai kedudukan budaya tinggi (high art) dengan kedudukan budaya populer (low art). Nilai dalam budaya tinggi (high art) telah menjadi taksa ketika budaya populer (low art) menjadi sebuah kebiasaan yang mengarah pada posisi “wajib diikuti” bagi khalayak umum. Hal tersebut dapat dikemukakan karena budaya populer mengacu pada sebuah pernyataan bahwa budaya (budaya pop) dari rakyat untuk rakyat. Saya akan menjelaskan mengenai ketaksaan nilai budaya tinggi (high art) dengan budaya populer (low art) dalam music performance (penampilan musik) Igudesman dan Joo. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode anilisis semiotika John Fiske. Saya akan mengartikulasikan semiotika Fiske yang memiliki analisa objek pada televisi menjadi analisa objek pada video musik. Igudesman dan Joo merupakan duet (duo) musisi klasik yang berinstrumen piano dan biola (violin). Aleksey Igudesman adalah seorang violinis berkebangsaan Rusia dan Hyung-Ki Joo adalah seorang pianis berkebangsaan Korea dan berdomisili di Inggris. Igudesman dan Joo bertemu pada “Yehudi Menuhin Music School” dan memutuskan untuk membuat ansambel musik dengan format duet. (http://www.igudesmanandjoo.com/about-igudesman-joo/) Igudesman dan Joo menampilkan sebuah pertunjukkan musik (music performance) dengan membawakan musik klasik (high art) disertai humor (low art). Hal tersebut direpresentasikan oleh Igudesman dan Joo ketika menampilkan sebuah karya Frederic Chopin yang diparodikan (penampilan tersebut diberi judul Chopin Allergy) dengan ekspresi mata menahan gatal pada lima detik pertama dan menggaruk-garuk badan pada detik ke-29 oleh Igudesman (menunjukkan low art, karena dianggap tidak sopan. Igudesman berkewajiban menahan rasa alerginya terhadap karya Chopin. Seorang penampil musik klasik harus membawakan karya komposer klasik dengan penuh hikmat/anggun) saat Joo memainkan sebuah lagu yang berjudul Etude No.1 in F minor from Three New Etudes dengan menunjukkan nilai budaya tinggi (high art) yaitu memainkan sebuah lagu klasik menyertakan ekspresi penuh hikmat/keanggunan (karya Chopin merupakan karya zaman Romantic). Seperti yang terlihat pada gambar 1 dan gambar 2.
Seorang penampil musik klasik berkewajiban dalam mematuhi etika penampil (performance etiquette). Etika penampil antara lain : menggunakan pakaian rapih dan menarik (layak), tidak boleh tepuk tangan untuk diri sendiri, membawakan musik dengan postur tubuh yang baik, mengapresiasi penonton (audiens) dengan ramah, misal memberi senyum. Dalam penampilan musik klasik, etika penonton dan etika penampil dibacakan terlebih dahulu oleh pembawa acara. (http://brianshook.com/resources/Performer-Etiquette.pdf). Saya akan menguraikan video musik berjudul “Chopin Allergy” dengan semiotika Fiske. John Fiske (2004: 26-30) dalam bukunya yang berjudul Reading Television menjelaskan tentang metode semiotika yang berupa pengembangan dari semiotika milik Roland Barthes. Dalam menganalisa sebuah tanda yang ditampilkan pada televisi, Fiske menyebutkan bahwa terdapat tiga tanda yaitu second order sign I: Myths, second order sign II: Conotation, the third order of signification / intersubjectivity. Second sign I: Myths pada video “Chopin Allergy”adalah ideolgi musik klasik yang ditampilkan dengan sebuah humor (parodi musik). Second order sign I: Myths merupakan pergerakan konseptual (conceptual movement), seperti yang dijelaskan oleh Fiske (2004: 27) yaitu “But this coherence is perhaps better expressed as a conceptual movement, for the myths of the army are not apprehended in their totality in a single moment of awareness”. Menurut saya, conceptual movement yang dipaparkan oleh Fiske mengacu pada istilah ideologi. Second order sign II: Conotation pada video “Chopin Allergy” adalah ekspresi penampil musik dan lagu yang dibawakan oleh penampil. Ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Joo sebagai penampil musik dengan instrumen piano merepresentasikan budaya tinggi (high art) yaitu serius dalam permainannya dan Igudesman merepresentasikan sebaliknya (low art) – (tepat pada waktu 1 menit 59 detik didalam video). Terlihat pada gambar 3. Gambar 3. Ekspresi Wajah Joo dan Igudesman (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=sYvjMN00Ln4) Terdapat empat lagu karya komposer zaman Romantic (abad ke-19) bernama Frederic Chopin yang ditampilkan pada video tersebut yaitu Etude No.1 in F minor from Three New Etudes, Waltz In E minor Op. Posth, Etude Op.25 No.2 dan Ballade No.4 Op.52. Lagu tersebut dibawakan secara duet (piano dan violin). Pada saat membawakan lagu Waltz in E minor Op. Posth, Igudesman membawakan lagu tersebut dengan kesan bercanda dan “sedikit mengubah” (aransemen) menjadi lagu ucapan selamat ulang tahun yang tidak asing bagi telinga kita serta Joo tetap memainkan lagu dengan stabil. Hal tersebut terjadi pada 1’07’’ hingga 1’18’’ (satu menit tujuh detik hingga satu menit delapan belas detik). Terjadi kembali penampilan budaya tinggi (high art) dan budaya populer (low art) secara bersamaan. Permainan kembali berlanjut hingga 2’12” dengan keluarnya Igudesman menggaruk punggungnya menggunakan alat penggesek violin (bow) serta eskpresi “tidak terima” Joo terhadap penampilan Igudesman yang tidak serius. Seperti yang terlihat pada gambar 4 dan gambar 5 Gambar 4. Igudesman sedang turun panggung (Sumber:https://www.youtube.com/watch?v=sYvjMN00Ln4) Gambar 5. Joo dengan ekspresi tidak menerima penampilan Igudesman (Sumber:https://www.youtube.com/watch?v=sYvjMN00Ln4) third order of signification pada video “Chopin Allergy” adalah ketaksaan nilai budaya tinggi (high art) dengan budaya populer (low art) yang ditampilkan oleh Igudesman dan Joo dengan membawakan karya musik klasik (musik serius) serta dibumbui “humor” dalam menampilkan musik serius. Fiske (2004: 29-30) menyatakan bahwa the third order of signification merupakan makna baru yang dihasilkan dengan menggabungkan dua buah hasil tanda yang dihasilkan pada myth dan cononotation serta hal ini dapat berupa hubungan antar subjek (intersubjectivity) yang saling berkelindan. Bagi Fiske intersubjectivity adalah sebuah hal yang paradox. Saya berkesimpulan bahwa budaya pop (low art) membuat kedudukan dan budaya tinggi (high art) menjadi taksa serta membuat pertanyaan baru yaitu “apakah zaman (era) saat ini, kita perlu melestarikan budaya tinggi dengan cara menurunkan derajat mereka menjadi sebuah budaya populer (disenangi seluruh khalayak umum)? Atau apakah kita tidak perlu memikirkan fenomena ini dan membiarkan hal ini terjadi begitu saja?”. Saya memiliki pendapat mengenai hal ini yaitu kita perlu menjaga nilai-nilai pada budaya tinggi (high art) dan melestarikannya dengan cara memiliki sifat tenggang rasa terhadap peristiwa maupun fenomena yang terjadi serta beradaptasi dengan seluruh hal (unsur) yang mempengauhinya. Daftar Acuan
Fiske, John, Reading Television (Second ed.). London. Taylor & Francis, 2004. Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culture (Second ed.). London: Taylor & Francis, 2004. Storey, John, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (L. Rahmawati, Trans. A. Adlin Ed.). Yogyakarta & Bandung: JALASUTRA, 2007. Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies (Shafwan, Trans. D. Nurdin Ed.). Yogyakarta: PENERBIT QALAM, 2003. Acuan Internet (http://www.igudesmanandjoo.com/about-igudesman-joo/) (http://brianshook.com/resources/Performer-Etiquette.pdf). Video Musik (https://www.youtube.com/watch?v=sYvjMN00Ln4) |
Archives |