Author : Tubagus Phandu Mursabdo Budaya tinggi (high art) telah berada pada posisi yang sejajar dengan budaya populer (low art) seperti yang telah dipaparkan oleh Warhol yaitu mengenai kedudukan budaya tinggi (high art) dengan kedudukan budaya populer (low art). Nilai dalam budaya tinggi (high art) telah menjadi taksa ketika budaya populer (low art) menjadi sebuah kebiasaan yang mengarah pada posisi “wajib diikuti” bagi khalayak umum. Hal tersebut dapat dikemukakan karena budaya populer mengacu pada sebuah pernyataan bahwa budaya (budaya pop) dari rakyat untuk rakyat. Saya akan menjelaskan mengenai ketaksaan nilai budaya tinggi (high art) dengan budaya populer (low art) dalam music performance (penampilan musik) Igudesman dan Joo. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode anilisis semiotika John Fiske. Saya akan mengartikulasikan semiotika Fiske yang memiliki analisa objek pada televisi menjadi analisa objek pada video musik. Igudesman dan Joo merupakan duet (duo) musisi klasik yang berinstrumen piano dan biola (violin). Aleksey Igudesman adalah seorang violinis berkebangsaan Rusia dan Hyung-Ki Joo adalah seorang pianis berkebangsaan Korea dan berdomisili di Inggris. Igudesman dan Joo bertemu pada “Yehudi Menuhin Music School” dan memutuskan untuk membuat ansambel musik dengan format duet. (http://www.igudesmanandjoo.com/about-igudesman-joo/) Igudesman dan Joo menampilkan sebuah pertunjukkan musik (music performance) dengan membawakan musik klasik (high art) disertai humor (low art). Hal tersebut direpresentasikan oleh Igudesman dan Joo ketika menampilkan sebuah karya Frederic Chopin yang diparodikan (penampilan tersebut diberi judul Chopin Allergy) dengan ekspresi mata menahan gatal pada lima detik pertama dan menggaruk-garuk badan pada detik ke-29 oleh Igudesman (menunjukkan low art, karena dianggap tidak sopan. Igudesman berkewajiban menahan rasa alerginya terhadap karya Chopin. Seorang penampil musik klasik harus membawakan karya komposer klasik dengan penuh hikmat/anggun) saat Joo memainkan sebuah lagu yang berjudul Etude No.1 in F minor from Three New Etudes dengan menunjukkan nilai budaya tinggi (high art) yaitu memainkan sebuah lagu klasik menyertakan ekspresi penuh hikmat/keanggunan (karya Chopin merupakan karya zaman Romantic). Seperti yang terlihat pada gambar 1 dan gambar 2.
Seorang penampil musik klasik berkewajiban dalam mematuhi etika penampil (performance etiquette). Etika penampil antara lain : menggunakan pakaian rapih dan menarik (layak), tidak boleh tepuk tangan untuk diri sendiri, membawakan musik dengan postur tubuh yang baik, mengapresiasi penonton (audiens) dengan ramah, misal memberi senyum. Dalam penampilan musik klasik, etika penonton dan etika penampil dibacakan terlebih dahulu oleh pembawa acara. (http://brianshook.com/resources/Performer-Etiquette.pdf). Saya akan menguraikan video musik berjudul “Chopin Allergy” dengan semiotika Fiske. John Fiske (2004: 26-30) dalam bukunya yang berjudul Reading Television menjelaskan tentang metode semiotika yang berupa pengembangan dari semiotika milik Roland Barthes. Dalam menganalisa sebuah tanda yang ditampilkan pada televisi, Fiske menyebutkan bahwa terdapat tiga tanda yaitu second order sign I: Myths, second order sign II: Conotation, the third order of signification / intersubjectivity. Second sign I: Myths pada video “Chopin Allergy”adalah ideolgi musik klasik yang ditampilkan dengan sebuah humor (parodi musik). Second order sign I: Myths merupakan pergerakan konseptual (conceptual movement), seperti yang dijelaskan oleh Fiske (2004: 27) yaitu “But this coherence is perhaps better expressed as a conceptual movement, for the myths of the army are not apprehended in their totality in a single moment of awareness”. Menurut saya, conceptual movement yang dipaparkan oleh Fiske mengacu pada istilah ideologi. Second order sign II: Conotation pada video “Chopin Allergy” adalah ekspresi penampil musik dan lagu yang dibawakan oleh penampil. Ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Joo sebagai penampil musik dengan instrumen piano merepresentasikan budaya tinggi (high art) yaitu serius dalam permainannya dan Igudesman merepresentasikan sebaliknya (low art) – (tepat pada waktu 1 menit 59 detik didalam video). Terlihat pada gambar 3. Gambar 3. Ekspresi Wajah Joo dan Igudesman (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=sYvjMN00Ln4) Terdapat empat lagu karya komposer zaman Romantic (abad ke-19) bernama Frederic Chopin yang ditampilkan pada video tersebut yaitu Etude No.1 in F minor from Three New Etudes, Waltz In E minor Op. Posth, Etude Op.25 No.2 dan Ballade No.4 Op.52. Lagu tersebut dibawakan secara duet (piano dan violin). Pada saat membawakan lagu Waltz in E minor Op. Posth, Igudesman membawakan lagu tersebut dengan kesan bercanda dan “sedikit mengubah” (aransemen) menjadi lagu ucapan selamat ulang tahun yang tidak asing bagi telinga kita serta Joo tetap memainkan lagu dengan stabil. Hal tersebut terjadi pada 1’07’’ hingga 1’18’’ (satu menit tujuh detik hingga satu menit delapan belas detik). Terjadi kembali penampilan budaya tinggi (high art) dan budaya populer (low art) secara bersamaan. Permainan kembali berlanjut hingga 2’12” dengan keluarnya Igudesman menggaruk punggungnya menggunakan alat penggesek violin (bow) serta eskpresi “tidak terima” Joo terhadap penampilan Igudesman yang tidak serius. Seperti yang terlihat pada gambar 4 dan gambar 5 Gambar 4. Igudesman sedang turun panggung (Sumber:https://www.youtube.com/watch?v=sYvjMN00Ln4) Gambar 5. Joo dengan ekspresi tidak menerima penampilan Igudesman (Sumber:https://www.youtube.com/watch?v=sYvjMN00Ln4) third order of signification pada video “Chopin Allergy” adalah ketaksaan nilai budaya tinggi (high art) dengan budaya populer (low art) yang ditampilkan oleh Igudesman dan Joo dengan membawakan karya musik klasik (musik serius) serta dibumbui “humor” dalam menampilkan musik serius. Fiske (2004: 29-30) menyatakan bahwa the third order of signification merupakan makna baru yang dihasilkan dengan menggabungkan dua buah hasil tanda yang dihasilkan pada myth dan cononotation serta hal ini dapat berupa hubungan antar subjek (intersubjectivity) yang saling berkelindan. Bagi Fiske intersubjectivity adalah sebuah hal yang paradox. Saya berkesimpulan bahwa budaya pop (low art) membuat kedudukan dan budaya tinggi (high art) menjadi taksa serta membuat pertanyaan baru yaitu “apakah zaman (era) saat ini, kita perlu melestarikan budaya tinggi dengan cara menurunkan derajat mereka menjadi sebuah budaya populer (disenangi seluruh khalayak umum)? Atau apakah kita tidak perlu memikirkan fenomena ini dan membiarkan hal ini terjadi begitu saja?”. Saya memiliki pendapat mengenai hal ini yaitu kita perlu menjaga nilai-nilai pada budaya tinggi (high art) dan melestarikannya dengan cara memiliki sifat tenggang rasa terhadap peristiwa maupun fenomena yang terjadi serta beradaptasi dengan seluruh hal (unsur) yang mempengauhinya. Daftar Acuan
Fiske, John, Reading Television (Second ed.). London. Taylor & Francis, 2004. Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culture (Second ed.). London: Taylor & Francis, 2004. Storey, John, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop (L. Rahmawati, Trans. A. Adlin Ed.). Yogyakarta & Bandung: JALASUTRA, 2007. Storey, John, Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies (Shafwan, Trans. D. Nurdin Ed.). Yogyakarta: PENERBIT QALAM, 2003. Acuan Internet (http://www.igudesmanandjoo.com/about-igudesman-joo/) (http://brianshook.com/resources/Performer-Etiquette.pdf). Video Musik (https://www.youtube.com/watch?v=sYvjMN00Ln4)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives |